IKHTISAR ILMU PERBANDINGAN HUKUM
TATA NEGARA
Kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara, Prof. Dr. R.
Soemantri Martosoewignjo, S.H.
1.PENGGUNAAN ISTILAH
Suatu
istilah kita pergunakan untuk menentukan apa yang hendak kita berikan sebagai
pengertian, sehingga dengan demikian penggunaannya akan mempengaruhi pula ruang
lingkup persoalan yang hendak kita kupas atau kita selidiki.
Terdapat
2 (dua) istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu yang sedang kita pelajari
ini, yaitu perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan istilah yang
berbeda-beda di lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di Indonesia ini,
ternyata juga sebagai dampak dari dipergunakannya 2 (dua) macam istilah di
Eropa Kontinental, yaitu :
a.vergelijkendrecht
dan rechtvergelijking (Belanda);
b.vergleichendes
dan rechtsvergleichung (Jerman);
c.droit compare dan la
methode compare (Perancis).
Apakah
yang dimaksud dengan perbandingan hukum tatanegara atau hukum tatanegara
perbandingan? Untuk mengetahuinya, kita harus memulai dengan pertanyaan:
“Apakah perbandingan hukum atau hukum perbandingan itu?”
Suitens-Bourgois mengatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah cabang dari
hukum, ia bukan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti misalnya hukum
perdata, hukum dagang, hukum tatanegara, hukum internasional, dan sebagainya.
Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan hukum adalah satu metode perbandingan
yang diterapkan pada ilmu hukum, pada bermacam-macam mata kuliah hukum. Oleh
karenanya, perbandingan hukum bukanlah suatu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia
hanyalah metode kerja dalam bentuk perbandingan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa
jika hukum didefinisikan antara lain sebagai seperangkat aturan, maka perbandingan
hukum atau hukum perbandingan tidak mempunyai perangkat aturan-aturan itu.
Metode untuk membanding-bandingkan peraturan hukum dari bermacam-macam sistem
hukum, tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri sendiri,
dengan kata lain tidak ada yang disebut “peraturan hukum perbandingan.” Ciri
dasar dari metode perbandingan ini adalah bahwa ia dapat diterapkan terhadap
penelitian mengenai bidang hukum tertentu.
Perbandingan
hukum, dapat dibedakan antara :
a.perbandingan
hukum deskriptif (menggambarkan), yaitu suatu analisis terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum. Peneliti tidak
mempunyai maksud untuk mencari jalan keluar (solusi) terhadap persoalan
tertentu, baik dalam hal yang abstrak maupun hal yang praktis;
b.perbandingan
hukum aplikatif (terapan), yaitu analisis yang dilakukan kemudian diikuti
dengan penyusunan sintesis untuk memecahkan suatu masalah. Hal ini dilakukan
antara lain untuk melakukan pembaruan suatu cabang hukum atau untuk
mempersatukan bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang
yang sama.
Jika
perbandingan ini kita terapkan pada hukum tatanegara, maka melalui metode ini
dilakukan perbandingan terhadap hukum tatanegara dari dua negara atau lebih
dengan maksud:
1)memperoleh
penjelasan mengenai sesuatu hal tertentu atau 2) untuk mencari jalan keluar
tentang sesuatu hal tertentu. Metode perbandingan membawa kita ke arah usaha
memperoleh informasi, kejelasan mengenai sistem pemerintahan negara yang
diperbandingkan serta jalan keluar dari persoalan yang hampir sama.
2.PENGERTIAN ILMU PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA DAN
HUBUNGANNYA DENGAN ILMU HUKUM TATA NEGARA DAN ILMU NEGARA
Ketiga
ilmu ini mempunyai obyek yang sama, yaitu negara. Pertanyaannya adalah,
dimanakan letak perbedaan antara Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara dengan
Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara? Jawabannya adalah meskipun obyek
penyelidikan ketiga ilmu pengetahuan tersebut sama, namun disamping tugas yang
berbeda, ketiga ilmu tersebut meninjau gejala-gejala negara dari sudut yang
berlain-lainan.
Obyek
ilmu hukum tata negara adalah negara tertentu, khususnya hanya mengenai susunan
hukum tata negaranya (het
staatsrechtelijk bestel). Sehingga
dapatlah dimengerti mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam
bentuk pemberian komentar, yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum berdasarkan
tata-urutannya dan penyelidikannya hanya terbatas pada negara tertentu saja.
Obyek
ilmu perbandingan hukum tata negara adalah bermacam-macam bentuk atau sistem
ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah
yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan
sebagainya, yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan
menetapkannya secara sistematis.
Obyek
ilmu negara adalah ciri-ciri dan sifat-sifat umum dari negara, dengan maksud
mempersatukan dalam suatu komplek tertentu.
Tugas
ilmu perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg, adalah untuk
menganalisis secara metodis dan menetapkan secara sistematis bermacam-macam
bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat
padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu
berubah, hilang dan lain sebagainya.
Terdapat
hubungan yang erat antara ilmu perbandingan hukum tata negara, ilmu hukum tata
negara dan ilmu negara:
a.Ilmu
negara dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: bahwa antara negara yang
satu dengan negara yang lain terdapat persamaan maupun perbedaan, adanya
bermacam-macam bentuk ketatanegaraan atau sistem ketatanegaraan yang menjadi
pokok penyelidikan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah juga suatu
masalah yang menjadi bidang ilmu negara. Di lain pihak, timbulnya mata
pelajaran baru yaitu ilmu perbandingan hukum tatanegara, dapat digambarkan
sebagai pertumbuhan dari komplek problema khusus ilmu negara;
b.Ilmu
hukum tata negara positif dengan ilmu perbandingan hukum tata negara: dalam
mempelajari ilmu hukum tata negara positif, seringkali kita tidak dapat
melepaskan diri dari penggunaan perbandingan-perbandingan dengan hukum tata
negara lainnya. Metode perbandingan yang dipergunakan oleh hukum tata negara
hanya dijadikan sebagai sebuah alat dan bukan merupakan tujuan.
CF.
Strong dalam “Modern Political Cosntitution” adalah yang menempatkan ilmu perbandingan hukum tata negara
sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan mempergunakan metode
perbandingan sebagai sebuah tujuan.
Ilmu
perbandingan hukum tata negara menurut Kranenburg adalah suatu ilmu
pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil ilmu negara umum, melakukan
pengumpulan dan melakukan penyusunan bahan-bahan tersebut secara metodis dan
sistematis untuk kemudian menganalisisnya.
Menurut
Sri Soemantri Martosoewignjo, ilmu perbandingan hukum tata negara adalah
suatu cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode perbandingan berusaha
membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek hukum tata negara dari dua
negara atau lebih.
3.FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA BERMACAM-MACAM
BENTUK ATAU SISTEM KETATANEGARAAN
Persamaan
dan perbedaan negara-negara di dunia dapat dilihat dari: sistem pemerintahannya
(parlementer, presidentil, quasi parlementer/presidentil, diktatur); bentuk
negaranya (serikat, kesatuan, persatuan); bentuk pemerintahannya (republik,
kerajaan: absolut/berkonstitusi); sistem badan perwakilan rakyatnya (satu
kamar, dua kamar).
Faktor-faktor
yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan
menurut Kranenburg, adalah disebabkan adanya syarat-syarat/faktor-faktor
baik yang bersifat umum (syarat/faktor yang terdapat pada semua negara) maupun
syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus (syarat/faktor yang terdapat
pada satu negara saja).
Yang
termasuk dalam syarat-syarat/faktor-fkator yang bersifat umum, antara lain
adalah :
a.adanya
ancaman yang datang dari luar, yaitu ancaman kelompok di luar negara, misalnya
perang, maupun bentuk-bentuk lainnya. Sebagai konsekuensinya, maka setiap
masyarakat negara harus mengorganisir dirinya, yang berarti juga harus
ditempuhnya bermacam-macam cara atau sistem berorganisasi dalam setiap
masyarakat negara;
b.adanya
ancaman yang datang dari dalam negara itu sendiri, sebagai akibat setiap
masyarakat negara terdiri dari manusia yang mempunyai bermacam-macam
kepentingan sehingga diantara mereka bisa timbul persoalan-persoalan, misalnya
tindakan main hakim sendiri (eigen
richting). Keadaan ini menyebabkan harus
dilakukannya pengaturan sedemikian rupa, sehingga tindakan main hakim sendiri
tersebut dilarang;
c.adanya
pengetahuan (kennis) yang berkembang secara berangsur-angsur atau tumbuhnya
pengalaman dengan cara teratur, yang melekat pada diri manusia sendiri, dimana
manusia diberi akal dan rasa sehingga timbullah kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan pengetahuan, teknologi yang akan menyebabkan pula tumbuhnya
kemajuan di bidang kebudayaan dan selanjutnya menyebabkan pula terjadinya
kemajuan di bidang organisasi.
Yang
termasuk dalam syarat-syarat/faktor-faktor yang bersifat khusus, antara lain
adalah :
a.Letak
geografi suatu wilayah negara, berupa kepulauan, pegunungan, benua atau daratan
menyebabkan syarat/faktor yang bersifat umum bekerja dengan bermacam-macam cara
dan bentuk, misalnya berpengaruh terhadap penentuan sistem pertahanan negara,
atau kemungkinan-kemungkinan adaptasi sebuah negara misalnya Indonesia karena
secara geografis terletak di persimpangan jalan negara-negara, sistem
pemerintahannya terpengaruh dari sistem parlementer Inggris dan presidentil
Amerika Serikat;
b.Sifat-sifat
sesuatu masyarakat bangsa (volkskarakter). Sifat atau watak suatu bangsa sebagai kumpulan manusia
mungkin dipengaruhi oleh iklim atau sesuatu yang lain. Dalam hal ini kita
melihat adanya pola-pola yang aktif pada suatu bangsa: bangsa yang tidak mudah
patah semangat; pola-pola yang kurang aktif pada suatu bangsa: bangsa yang mempunyai
sifat-sifat malas, penakut atau melihat segala sesuatu ingin dengan cara mudah
(cenderung menempuh sistem despotis);
c.Paham/doktrin
politik yang dianut oleh masyarakat negara, misalnya liberalisme dan komunisme.
4.BEBERAPA DERAJAT ILMU PENGETAHUAN DAN KEDUDUKAN ILMU
PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA
Ditinjau
dari tujuannya, maka kita dapat menggolongkan ilmu pengetahuan dalam :
a.Ilmu
pengetahuan yang hanya berusaha mendapatkan kebenaran saja, terlepas dari
apakah hal itu memberikan kebahagiaan yang merata bagi Indonesia;
b.Ilmu
pengetahuan yang disamping berusaha mendapatkan kebenaran, sekaligus juga
mencapai kebahagiaan manusia secara merata;
c.Ilmu
pengetahuan yang dalam tingkat pertama hanya mencapai atau mendapatkan atau
mendekati kebenaran, akan tetapi pada tingkat selanjutnya ternyata memberikan
kebahagiaan yang merata bagi umat manusia.
Nasroen
mengemukakan adanya 3 (tiga) macam derajat ilmu pengetahuan, yaitu :
a.Beschrijvend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya hanya menggambarkan
saja;
b.Verklarend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya menyelidiki sebab
musabab sesuatu atau menjelaskan; dan
c.Waarderend wetenschap, yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya memberi nilai dan
dapat memberi pedoman menuju sesuatu yang sempurna. Dalam pemberian nilai ini,
terbuka kemungkinan ke arah mana sesuatu itu akan dibawa dan diarahkan.
Termasuk
golongan manakah atau derajat yang manakah ilmu perbandingan hukum tata negara?
Kranenburg mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah
ilmu ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan atau menyelidiki sebab musabab
sesuatu (verklarend
wetenschap) dan upaya pengembangan ke arah
tersebut, sangat memerlukan pula baik secara paralel atau tidak, pengembangan
ilmu negara umum dan ajaran hukum umum (de algemene rechtsleer)
menjadi suatu syarat mutlak.
Nasroen
berpendapat bahwa ilmu perbandingan pemerintahan/negara harus merupakan suatu
ilmu pengetahuan yang memberi nilai (waarderend wetenschap),
ia harus sanggup menentukan secara obyektif bagaimanakah pemerintah/negara itu
seharusnya, antara lain yaitu pemerintah/negara yang memberikan manfaat
sebaik-baiknya bagi masyarakatnya dan inilah yang merupakan ukuran dalam
melakukan perbandingan antar negara/pemerintah.
Pendapat
Nasroen di atas jika dihubungkan dengan ilmu perbandingan tata negara, maka
ilmu ini bertugas untuk mendapatkan negara yang seharusnya atau negara yang
dicita-citakan (staats
idee), yang akan berlaku dimana-mana.
Bagaimanapun
obyektifnya penyelidikan dilakukan, oleh karena terletak pada bidang nilai,
pada akhirnya hal itu tidak terlepas dari subyektivitas orang yang mengemukakan
negara yang dicita-citakan (idee
negara) tersebut, apalagi jika masalah
tersebut kita tinjau dari kemungkinan pelaksanaannya yang kemungkinan mustahil terjadi.
Oleh karena, misalnya kita akan menjumpai kenyataan misalnya adanya letak
geografi yang tidak sama, sifat-sifat bangsa yang beraneka ragam, paham politik
yang tidak sama, yang memperkuat pendapat tidak mungkinnya diketemukan idee
negara yang benar-benar idee negara.
Sri
Soemantri Martosoewigjo tidak
sependapat dengan Nasroen yang mengatakan bahwa ilmu perbandingan tata negara
adalah ilmu pengetahuan yang memberi nilai, dan Sri Soemantri Martosoewignjo
memandang pendapat Kranenburg lebih tepat yaitu yang mengatakan bahwa
ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu pengetahuan yang tugasnya
mencari atau menyelidiki sebab musabab atau menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).
5.STRUKTUR KETATANEGARAAN PADA UMUMNYA
Struktur
ketatanegaraan suatu negara, pada umumnya meliputi 2 (dua) hal, yaitu :
a.Supra
struktur politik, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang
disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang berhubungan
dengannya, antara lain mengenai kedudukannya, kekuasaan dan wewenangnya,
tugasnya, pembentukannya serta hubungan antara alat-alat perlengkapan itu satu
sama lain, yang pada umumnya diatur dalam kontitusi atau undang-undang dasar
suatu negara; dan
b.Infra
struktur politik, yaitu struktur politik yang berada di bawah permukaan, yang
meliputi 5 (lima) komponen, yaitu komponen partai politik, golongan kepentingan
(interest
group), alat komunikasi politik, golongan
penekan (pressure
group) dan tokoh politik (political figure). Oleh karena pemilihan umum menentukan pula kehidupan
kepartaian, termasuk sistem kepartaiannya, maka ia masuk kedalam infra struktur
politik.
Antara
supra struktur politik dengan infra struktur politik terdapat hubungan timbal
balik, dalam arti bahwa supra struktur politik dapat mengatur segala sesuatu
yang bersangkutan dengan infra struktur politik, sedangkan infra struktur
politik dapat mempengaruhi serta menentukan berjalannya supra struktur politik.
Menurut
S.L.Witman dan J.J.Wuest, struktur ketatanegaraan itu mempunyai
bermacam-macam perlengkapan (the
agents and a tool of government),
yaitu: the
constitution, the electorate, the political parties, the
legislature, the executive, the judiciary, the
intergovernmental relationships
dan the
local government.
Menurut
S.L.Witman dan J.J. Wuest, sebagai pelaksanaan asas demokrasi pada setiap
negara, maka rakyat melalui lembaga pemilihan umum (electorate) memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam konstituante dan
lembaga perwakilan rakyat (legislature). Setelah konstuante terbentuk, lalu bersidang untuk
menetapkan suatu konstitusi atau undang-undang dasar yang akan mengatur antara
lain lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga peradilan dan sebagainya.
Partai politik mempunyai peranan penting dalam menyalurkan pendapat rakyat
dalam menentukan/memilih wakil-wakil rakyat dalam kedua lembaga tersebut.
Konstitusi juga menentukan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam suatu
negara, baik mengenai sistem pemerintahannya, sistem desentralisasinya, bentuk
negaranya dan lain sebagainya. Setelah konstutusi ditetapkan berlaku dalam
suatu negara, maka setiap warganegara harus taat pada undang-undang dasarnya.
6.POLA KETATANEGARAAN C.F.STRONG
Pola
ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah setiap negara
bergerak melalui apa yang dinamakan cycle of revolution,
yaitu :
a.setiap
negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man) yang disebut monarchy;
b.bahwa
namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik
untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya digantikan oleh orang
yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);
c.selanjutnya
si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu tantangan serta oposisi
dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin memperbaiki
kehidupan rakyatnya yang disebut aristokrasi;
d.saatnya
semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang menjalankan
kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan kelompok itu sendiri dan
terjadi korupsi dikalangan penguasa tersebut (oligarchy);
e.akhirnya
rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa korup tadi dan
muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan oleh banyak
orang;
f.pada
akhirnya cycle
of revolution ini dipatahkan dengan tipe
pemerintahan yang disebut polity.
Pola
ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh Plato sebagai berikut :
TYPE OF CONSTITUTION
|
GOOD OR TRUE FORM
|
BAD OR PERVERTED FORM
|
Government
of One
|
Monarchy
or Royalty
|
Tyrani
or Despotism
|
Government
of The Few
|
Aristocracy
|
Oligarchy
|
Government
of The Many
|
Polity
|
Democracy
|
Menurut
C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles
tersebut dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi
lain dengan cara mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-negara
modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuasaan: organ kekuasaan
legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ kekuasaan judisiil.
Berdasarkan
sugesti dan saran-saran dari Lord Bryce, Edward Jenks dan Sir
J.A.Marriott, C.F. Strong mengemukakan pola-pola ketatanegaraannya, yaitu :
a.The
nature of the state to which the constitution applies;
b.The
nature of the constitution itself;
c.The
nature of the legislature;
d.The
nature of the executive;
e.The nature of the judiciary.
Menurut
C.F.Strong, dilihat dari segi hakekat negara, negara-negara modern dapat
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelas besar, yaitu: negara kesatuan dan negara
serikat/federal.
Negara
kesatuan adalah suatu negara yang:
a.berada
di bawah satu pemerintahan pusat;
b.mempunyai
wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut;
c.Bagian-bagian
negara tidak mempunyai kekuasaan asli, melainkan diperoleh dari pemerintah
pusat.
Dicey mengatakah bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual exercise of supreme
legislative authority by one central power.
Dengan demikian, walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi yang
luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan untuk
mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat dapat saja
mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan kepada
daerah-daerah otonom.
Jika
dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat
dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada
daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya,
melainkan karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat dari negara
kesatuan.
Menurut
C.F.Strong, terdapat 2 (dua) ciri yang bersifat esensiil yang ada pada
suatu negara kesatuan, yaitu:
a.adanya
supremasi lembaga perwakilan rakyat pusat (parliament);
b.tidak
adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absence of subsidiary sovereign
bodies).
Negara
serikat/federal menurut C.F.Strong adalah suatu negara dimana terdapat 2
(dua) atau lebih negara atau lebih yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan
tertentu yang sama.
Dicey mengemukakan bahwa “a federal state is a political
contrivance intended to reconcile national unity and power with the maintenance
of state rights.”
Dalam
negara federal, negara-negara yang bergabung atau yang disebut negara bagian
mempunyai kedudukan yang kuat, namun sebagian dari kekuasaannya diserahkan
kepada negara federal. Kekuasaan yang ada pada negara federal dibatasi oleh
kekuasaan yang terdapat pada negara-negara yang bergabung, ini berarti adanya
perbedaan antara kekuasaan pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara
bagian yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik antara keduanya. Untuk
menghindarinya, pembagian kekuasaan antara keduanya harus diatur secara tegas
dan jelas yang dituangkan dalam sebuah konstitusi. Sehingga konstitusi dalam
suatu negara federal dapat disamakan dengan perjanjian atau bersifat seabgai
perjanjian (treaty) yang harus ditaati oleh negara-negara bagian.
Jadi
ciri atau sifat negara federal adalah :
a.adanya
supremasi konstitusi yang menjadikan federasi itu terwujud;
b.adanya
pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian;
c.adanya
suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu perselisihan
antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian.
Tiap-tiap
federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses sejarah
masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam
federalisme :
a.confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang
sesungguhnya (real
power);
b.negara-negara
yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana negara negara
sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;
c.negara-negara
dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-masing negara
bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units desiring union, they do not
desire unity).
Mengenai
cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian,
terdapat 2 (dua) cara yaitu :
a.kekuasaan
yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal ditetapkan
secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan
kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh Kanada
yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal;
dan
b.kekuasaan
yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif dalam
konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian
dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap
kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara
bagian (to
check the power of the federal authority as against the federating units).
Dengan
adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian ini
mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing tidak menjadi
lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat oleh konstitusi yang merupakan
treaty. Siapa yang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi?
Di Amerika Serikat, perselisihan mengenai hal tersebut diserahkan kepada
kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan di Swiss diserahkan kepada Lembaga
Perwakilan Rakyat Federal (The
Federal Assembly).
6.1.HAKEKAT KONSTITUSI
Istilah
konstitusi pada umumnya dipergunakan paling sedikit dalam 2 (dua) pengertian :
a.menggambarkan
keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan
yang membentuk, mengatur atau memerintah negara; ada yang tertulis sebagai
keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis berupa “usages, understandings, customs atau convention”. Meskipun tidak merupakan undang-undang, bukan berarti
kurang efektif dalam mengatur negara;
b.merupakan
menggambarkan campuran antara ketentuan tertulis dan tidak tertulis, contoh:
Kerajaan Inggris dengan common
law system-nya.
Dalam
perkembangannya, konstitusi mempunyai 2 (dua) pengertian :
a.dalam
pengertian sempit, konstitusi tidak menggambarkan keseluruhan kumpulan
peraturan, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis (legal dan non-legal), melainkan yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu.
Contoh: Amerika Serikat. Menurut Lord Bryce, konstitusi adalah “a frame of political society,
organized through and by the law, that is to say, one in which law has
established permanent institutions with recognized functions and definite
rights”
b.dalam
pengertian luas, menurut Bolingbroke, adalah assemblage of laws, institutions and customs yang diambil dari certain fixed principles of reason. Dan menurut C.F.Strong, konstitusi dapat
diketemukan dalam sebuah dokumen yang dapat diubah sesuai dengan perkembangan
waktu, akan tetapi dapat pula berupa “a bundle of separate laws” yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara.
Menurut
Maurice Duverger, tidak jarang terdapat jurang antara apa yang
ditetapkan didalamnya dengan kenyataannya/pelaksanaannya, sehingga seringkali
konstitusi hanya dijadikan sebagai tirai bagi penguasa. Dalam kaitan inilah, C.F.
Strong mengemukakan bahwa untuk disebut sebagai konstitusi, maka harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.how the various agencies are
organized;
b.what power is entrusted to those
agencies;
c.in what manner such power is to be
exercised.
Konstitusi
menurut K.C.Wheare dapat digolongkan ke dalam :
a.Written constitution dan unwritten
constitution, yang dalam kenyataannya tidak
diketemukan lagi dalam negara-negara di dunia saat ini, sehingga pembagian
berdasarkan hal ini tidak dapat dipertahankan lagi;
Documentary constitution dan non-documentary constitution. Documentary
constitution mengandung arti bahwa dituangkan
dalam suatu dokumen tertentu seperti yang dilakukan oleh para pembentuk
konstitusi di Amerika Serikat. Non-documentary constitution, konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen
tertentu, tetapi dalam banyak bentuk peraturan seperti Kerajaan Inggris.
Penggolongan konstitusi ke dalam documentary constitution dan non-documentary constitution, paralel dengan pengertian konstitusi berturut-turut dalam
arti sempit dan dalam arti luas;
b.Flexible constitution dan
rigid constitution, yang dikemukakan oleh Lord
Bryce, yaitu berdasarkan pada cara-cara konstitusi itu diubah atau dengan
jalan bagaimanakah suatu konstitusi itu dapat diubah. Digolongkan kedalam flexible constitution, apabila dapat diubah melalui proses yang sama dengan
undang-undang, yaitu dengan cara yang tidak terlalu sulit, misalnya dengan
sistem suara terbanyak mutlak. Sedangkan digolongkan ke dalam rigid constitution, jika perubahan konstitusi dilakukan melalui cara-cara yang
khusus (special
process).
Pembagian
ke dalam rigid dan flexible constitution ternyata menimbulkan persoalan juga :
a.Sampai
seberapa jauhkah suatu konstitusi dapat digolongkan rigid dan lain flexible ?;
b.Manakah
yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam konstitusi rigid? K.C.Wheare
mengemukakan, bahwa hal itu tergantung pada jumlah penghalang dan
besar-kecilnya penghalang tersebut. Jika suatu konstitusi berisi
penghalang-penghalang formil (legal obstacles)
untuk mengubahnya, maka ia adalah rigid constitution (Amerika
Serikat, Australia, Denmark, Swiss, Norwegia, Perancis); oleh karena sangat
sulit diubah dan memang jarang diubah dan jika sebaliknya maka merupakan flexible constitution (Inggris dan Selandia Baru).
Menurut
C.F.Strong, terdapat 4 (empat) perbedaan cara yang dilakukan
negara-negara dalam melakukan perubahan terhadap undang-undangnya :
a.By the ordinary, legislature, but
under certain restrictions, yang dapat
dilakukan melalui 3 (tiga) macam jalan: Pertama, Lembaga Perwakilan
Rakyat yang ada (the ordinary legislature) dalam sidang-sidangnya harus
dihadiri oleh paling sedikit dua pertiga atau empat perlima dari seluruh
anggota (fixed
quorum of members), serta keputusan perubahan tersebut
sah apabila usul perubahan tersebut disetujui oleh suara terbanyak yang
ditentukan (dua pertiga, empat per lima, setengah + 1, dsb), dianut oleh
Indonesia; Kedua, sebelum perubahan dilakukan, Lembaga Perwakilan Rakyat
dibubarkan, kemudian diadakan pemilihan umum yang baru dan Lembaga Perwakilan
Rakyat yang baru inilah yang kemudian akan bertindak sebagai konstituante untuk
mengubah konstitusi, dianut oleh Belgia, Norwegia dan Swedia; Ketiga,
dalam bicameral
system, 2 (dua) Lembaga Perwakilan Rakyat
harus melakukan sidang gabungan sebagai suatu badan, yang keputusannya sah
apabila disetujui dengan suara terbanyak (bisa mutlak dan bisa yang ditentukan)
dari anggota-anggotanya;
b.By the people through a referendum; apabila perubahan konstitusi memerlukan adanya pendapat
langsung dari rakyat yang diminta melalui referendum, plebisit atau popular
vote (dianut oleh Perancis);
c.By a majority of all units of a
federal state; yang berlaku hanya di negara
federal, karena pembentukan negara federal tersebut dilakukan oleh
negara-negara yang membentuk dan konstitusinya merupakan semacam perjanjian (treaty), sehingga perubahan terhadap konstitusi memerlukan adanya
persetujuan negara-negara bagian;
d.By a special convention;
mengubah konstitusi mengharuskan dibentukanya suatu badan khusus yang dibentuk
untuk itu.
6.2.HAKEKAT KEKUASAAN LEGISLATIF
Sebagai
badan yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, legislatif memberi garis
pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan lain seperti eksekutif dan
yudikatif.
Menurut
C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem satu
kamar dan dua kamar tidak tepat dan tidak riil, karena jika klasifikasi ini
kita pergunakan, maka kita akan mengelompokkan negara-negara dunia ini dalam
negara-negara yang mempunyai sistem satu kamar dan dua kamar, hal ini akan
menyamakan negara atau negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota
badan perwakilan rakyatnya menjadi satu dengan negara atau negara-negara yang
memilih anggota badan perwakilan rakyatnya dalam suatu pemilihan umum. Sehingga
ia berpendapat akan lebih baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada:
dengan jalan bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu
dibentuk, sehingga pola negara dapat dibagi dalam :
a.Sistem
pemilihan dimana anggota-anggota Lower House duduk didalamnya. a.1) Apakah
macam pemilihannya (kind
of franchise): Pertama, pemilihan
dilakukan secara umum (adult
suffrage) yaitu hak untuk melakukan pemilihan
baik pasif maupun aktif yang diberikan kepada seseorang yang telah mencapai
usia tertentu. Kedua, tidak secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun aktif hanya diberikan kepada
semua laki-laki yang telah mencapai usia tertentu. a.2) persoalan yang
berhubungan dengan daerah pemilihan (kind of constituency);
Kita
mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu : a) sistem proporsional (the simply majority system with
second with second ballot and proportional representation), dan b) sistem distrik (the simple majority single ballot system).
b.The second chamber atau Upper
House, yang terbentuk oleh karena
beberapa faktor, antara lain adalah sejarah lembaga tersebut dan terbentuk oleh
karena bentuk negara federal/serikat.
6.2.HAKEKAT KEKUASAAN EKSEKUTIF
C.F.Strong
mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur
asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta
pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua
hal :
a.adanya
pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana
badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi
tidak percaya;
b.Badan
eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan
presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi
negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive System)
dan presidentiil (The Non-parliamentary Executive
System)
6.3.HAKEKAT KEKUASAAN PERADILAN
C.F.Strong
mengklasifikasi kekuasaan peradilan atas dasar hubungan antara kekuasaan
peradilan dengan kekuasaan pemerintahan (the connection of the judiciary with the executive) :
a.Common Law States, in which the
executive, being subject to the operation of the rule of law; dan
b.Prerogatives States, in which the
executive is protected by a special system of administrative law.