BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penentuan awal
bulan Qamariyah sangatlah penting dalam dunia Islam. Khususnya
penentuan bulan–bulan yang didalamnya terdapat ibadah penting semisal bulan
yang dinantikan oleh seluruh umat islam yakni bulan Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah. Yang
mana di bulan tersebut menyimpan beribu berkah yang tak ternilai.
Di bulan yang
penuh berkah tersebut seharusnya masyarakat Islam menyambut dengan
suka cita akan tetapi dalam problematika yang ada di
lingkungan masyarakat terjadi
perbedaan penetapan penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal
serta Dzulhijjah yang menjadikan masyarakat kebingungan. Walaupun pemerintah
telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dengan melakukan sidang isbath
akan tetapi beberapa ormas masih saja menetapkannya
menurut pendapatnya sendiri-sendiri meskipun ada sebagian yang
menyetujui keputusan pemerintah.
Persoalan
penentuan awal bulan Qamariyah khususnya penentuan awal dan
akhir bulan Ramadhan serta Idul Adha merupakan masalah
klasik tetapi senantiasa aktual. Dalam pembahasn ini akan dijelaskan
tentang peran Ilmu Falak dalam menentukan awal dan akhirRamadhan
serta Idul Adha agar kita
senantiasa berpikir kritis menyikapi problematika yang terjadi. Maka
dari itu pemakalah akan mengulas tentang peran Ilmu Falak dalam menentukan awal
dan akhir Ramadhan serta Idhul Adha.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah munculnya Tahun Hijriyah?
2. Bagaimana Peran
Ilmu Falak terhadap Penentuan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah?
3. Bagaimana Metode Penentuan Awal Bulan menurut Ilmu Falak?
4. Bagaimana
Kriteria Penentuan Awal Bulan?
5. Bagaimana Tawaran Penyatuan terhadap
Penentuan Awal Bulan Hijriyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Tahun Hijriyah
Tarikh Hijriyah yang populer
dengan kalender sistem islam dimulai sejak peristiwa hijrah-nya
Rasulullah Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makah ke Madinah. Sang
Rasul yang merupakan penutup para Nabi memasuki kota Yastrib yang kemudian
dikenal sebagai kota Madinah, pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun
pertama Hijriyah
bertepatan dengan tanggal 24 September 622 Miladiah.
Penanggalan Hijriyah ini dimulai
sejak Umar bin Khattab 2.5 tahun menjabat sebagai khalifah, yaitu
sejak terdapat persoalan yang menyangkut sebagai dokumen yang terjadi pada
bulan Sya’ban. Muncullah bulan Sya’ban yang mana? Oleh sebab itu Umar bin
Khattab memanggil beberapa orang sahabat terkemuka guna membahas
persoalan tersebut. Agar persoalan semacam itu tidak terulang lagi maka
diciptakanlah penanggalanHijriyah. Atas usul Ali bin Abi Thalib maka penanggalan Hijriyah dihitung mulai tahun yang
didalamnya terjadi Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Dengan demikian penanggalan Hijriyah itu diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.
Sebagai Amirul
Mukminin Umar bin Khattab berfatwa : Peristiwa Hijrah itu telah memisahkan antara yang hak dan yang batil, maka
abadikanlah (dengan membuatnya) menjadi satu penanggalan (sistem kalender
Islam).
Dalam satu tahun kalender Islam terdapat dua belas, masing-masing
bernama: 1) Muharram (bulan yang disucikan), 2) Shafar (bulan yang
dikosongkan), 3) Rabi’ul Awal (musim semi pertama), 4) Rabi’ul Akhir
(Musim semi kedua), 5) Jumadil Ula (musim kering pertama), 6) Jumadil Akhir
(musim kering kedua), 7) Rajab (bulan pujian), 8) Sya’ban (bulan pembagian), 9)
Ramadhan (bulan yang sangat panas), 10) Syawal (bulan berburu), 11) Dzulqa’dah
(bulan istirahat) dan 12) Dzulhijjah (bulan Ziarah).
B. Peran Ilmu
Falak terhadap Penentuan Awal dan Akhir Bulan Qomariyah
Penentuan awal
bulan Qamariyah penting artinya bagi umat islam sebab untuk menentukan awal dan
akhir Ramadhan, karena masalah ini menyangkut masalah “wajib ‘ain” bagi setiap
umat Islam, yaitu menjalankan ibadah puasa. Penentuan awal dan akhir Ramadhan
menjadi masalah yang diperselisihkan tentang cara yang dipakainya.
Satu pihak ada yang mengharuskan dengan Rukyat saja dan satu pihak lainnya ada
yang membolehkan dengan Hisab saja.
Kedua cara
tersebut memiliki dasar hukum satu sama lain. Dasar hukum yang dipegang oleh
ahli Rukyat antara lain Hadist riwayat Bukhari-Muslim dari abu Hurairah: “berpuasalah
kamu jika melihat hilal dan berbukalah jika melihat hilal, jika keadaan mendung
maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari.”
Sedang dasar hukum yang dikemukakan
oleh ahli Hisab antara lain adalah QS. Yunus: 5 :“ Dialah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan waktu . . .“
Melihat
pembahasan tentang perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyah maka betapa
pentingnya pengtahuan tentang Ilmu Falak. Bagi yang menetapkan awal bulan
berdasarkan Hisab maka kegunaan Ilmu Falak ini dapat melakukan perhitungan
terjadinya ijtima’, ketinggian Hilal, tenggelam matahari, dan lain-lain.
Sebaliknya bagi yang menetapkan awal bulan Qamariyah berdasarkan Rukyat, maka
kegunaan Ilmu Falak ini mempermudah orang yang akan melakukan Rukyatul Hilal
dapat mengarahkan pandangannya ke posisi Hilal.
Ilmu Falak
mempunyai suatu kepentingan praktis menjalankan perintah-perintah agama yang
sangat berkaitan dengan waktu seperti shalat, puasa, mengeluarkan zakat, dan
haji. Dengan ilmu falak, orang dapat memperhitungkan kemana arah kiblat, waktu
sholat, matahari sudah tenggelam untuk berbuka puasa serta mengarahkan
pandangannya ke posisi hilal. Akhirnya dengan mempelajari Ilmu Falak dengan
serius dan tekun, InsyaAllah dapat membuahkan hasil yang memadai, baik dari
aspek keilmuwan maupun peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
C. Awal Bulan Qamariyah
Menurut ahli hisab yang menggunakan
kriteria wujȗd al-hilâl, awal bulan Qamariyah diartikan dengan
adanya hilal diatas ufuq pada saat matahari terbenam, atau lebih tepatnya
dikatakan denganterjadinya konjungsi (ijtimak) sebelum tenggelamnya matahari. Itupun disyaratkan
adanya bulan tenggelam setelah matahari. Jika hal tersebut terjadi, Maka
keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.
Sedangkan menurut ahli hisab yang menggunakan kriteria imkân
al-ru’yah, berpendapat sama dengan ahli hisab yang menggunakan
prinsip wujȗd Al-hilâl. Hanya saja terdapat syarat tambahan yaitu
harus terlihat oleh mata kepala manusia. Apabila setelah terjadi konjungsi/ijtimâ’ bulan
sabit tidak terlihat oleh mata manusia, maka untuk mengatakan keesokan harinya
sebagai awal bulan baru disyaratkan saat matahari terbenam ketinggian bulan
di atas horison tidak kurang dari pada 2° dan jarak lengkung matahari sampai
bulan (sudut elongasi) harus tidak kurang dari pada 3°. Dengan kata lain,
selain harus berketinggian minimal 2° diatas horizon, umur bulan juga
harus tidak kurang dari 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku sampai
saat bulan terbenam.
Lain halnya dengan ahli ru’yah. Mereka mengartikan awal bulan
Qamariyah dengan adanya hilâldiatas ufuq pada saat matahari
terbenam dan dapat dilihat oleh mata kepala manusia. Baik menggunakan alat
bantu maupun tidak. Berbeda lagi dengan pakar astronomi. Mereka berpendapat
bahwa terhitungnya awal bulan dimulai sejak terjadinya konjungsi/ijtimâ’ segaris
antara matahari dan bulan. Tidak memandang apakah metahari terbenam lebih
dahulu atau tidak, juga tidak memandang harus terlihat oleh mata atau tidak.
D. Metode Penentuan Awal Bulan
Penentuan awal
dan akhir bulan Ramadhan pada hakikatnya adalah penentuan awal bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawal, yaitu dua nama bulan dalam sistem kalender Hijriyah yang
perhitungannya di dasarkan pada peredaran “bulan mengelilingi bumi”, yang di
kenal dengan sistem Qamariyyah atau lunar system. Bila dalam
penentuan awal waktu shalat dan penentuan arah kiblat kaum muslimin sepakat
menggunakan hasil (perhitungan astronomis), maka untuk penentuan awal bulan
Qamariyyah ini tidaklah demikian. Satu pihak mewajibkan hanya dengan rukyat
(pengamatan dengan mata kepala) saja, tapi pihak yang lain mencukupkan diri
dengan hasil hisab.
Kemudian
mengenai persoalan hisab rukyah awal bulan Qamariyyah ini pada dasarnya sumber
pijakannya adalah hadits-hadits hisab rukyah. Dimana
berpangkal pada zahir hadits-hadits, para ulama’ berbeda pendapat dalam
memahaminya sehingga melahirkan perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa
penentuan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah harus di dasarkan pada
rukyah atau melihat hilal yang di lakukan pada tanggal 29-nya.
Dalam penentuan awal bulan,
khususnya 1 ramadhan, 1
syawal dan 1 Dzulhijjah terdapat
dua kelompok besar yang berbeda, yakni:
1)
Kelompok yang
mengharuskan Rukyat (Metode Rukyat)
Istilah ru’yah berasal
dari fi’il madl ra’a yang berarti melihat. Kata Ru’yah mempunyai
dua konotasi makna. Makna pertama ialah melihat dengan pandangan mata “Ru’yah
bashoriyyah”. Sedangkan makna kedua melihat dengan ilmu pengetahuan “ru’yah
ilmiyah”. Makna yang kedua bisa berarti mengetahui, menyangka, berpendapat,
berpandangan, atau kata semacamnya.
Sedangkan hilâl dalam
bahasa arab diartikan bulan baru yang dalam konteks Indonesia disebut sebagai
bulan sabit. Dalam hal ini adalah 2 malam pada awal bulan. Menurut Imam
Ibnu Mandzur, hilâl adalah bulan sabit yang tampak pada manusia
saat awal bulan. Berbeda dengan Imam Ibnu Mulaqqin, ia mengartikan yang
disebut hilâl hanya bulan dari tanggal 1 sampai tanggal 3.
Selebihnya disebut dengan al-Qamar.
Kementerian Agama yang
dulu bernama Departemen Agama, mengistilahkan ru’yah al-hilâlhanya
dengan sebutan ru’yah saja. Ru’yah perspektif
Kementerian Agaman diartikan dengan melihat hilal pada saat matahari terbenam
pada akhir bulan Qamariyah dalam rangka menentukan awal bulan berikutnya.
Menurut Ahmad Sabiq pengertian ru’yah al-hilâl adalah kegiatan
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan pengamatan
secara visual terhadap kemunculan hilal. Baik menggunakan mata langsung maupun
dengan bantuan alat. Alat bantu visual yang biasa digunakan diantaranya
teleskop, bino kular, dan kamera.
Dengan demikin dapat
disimpulkan bahwa pengertian ru’yah al-hilâl adalah melihat
munculnya hilal pada saat matahari tenggelam dan dilakukan pada tanggal 29 atau
akhir bulan Qamariyah guna menetapkan awal bulan berikutnya. Baik melihat
dengan mata telanjang atau dengan menggunakan alat bantu.
Ru’yah al-hilâl yang
dilakukan dengan mata telanjang, biasa disebut dengan ru’yah Bi
al-Fi’li atau Bi al-Aini. Ru’yah Bi al-Fi’li merupakan
praktek ru’yah yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW dan hanya melihat kearah
ufuk barat saja tanpa ada kefokusan terhadap posisi tertentu. Sedangkan ru’yah
al-hilâl yang didukung dengan alat bantu, dalam dunia astronomi dikenal dengan
istilah observasi. Disebut dengan observasi karena sebelum
melakukan ru’yah, si pelaksana ru’yah sudah mengetahui posisi hilâl yang akan
dilihat dengan cara melakukan perhitungan dengan metode hisâb. Sehingga dalam
melakukan ru’yah pandangan lebih terfokus pada posisi tertentu sesuai dengan
hasil hitungan hisâb.
Dalam persefektif yang sama juga
diterangkan bahwa, dari sudut bahasa indonesia kata “Rukyat”, seperti halnya
kata observation dalam bahasa inggris, juga berasal dari kata asing, dari
bahasa arab. Rukyat berasal dari kata jadian Raay, yaraa, menjadi ra’yan,
Ru’yatan dan seterusnya. dalam bahasa arab, Raay, sebagai kata kerja, berarti
melihat atau mengamati. Rukyat, sebagai
mana halnya observation, berarti juga pengamatan.
Menurut metode
ini penentuan awal dan akhir bulan Qamariyyah ditetapkan
bedasarkan rukyat atau melihat bulan yang dilakukan pada hari ke 29. Apabila
rukyat tidak berhasil, baik karena posisi hilal memang belum dapat dilihat
maupun karena terjadi mendung, maka penetapan awal bulan harus
bedasarkan istikmal (penyempurnaan bilangan bulan menjadi 30 hari).
Rasulullah SAW
bersabda:
أنّ
رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم قال الشّهر تسع وعشرون ليلة فلا تصوموا حتّى تزوه
فإن غمّ عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah
bersabda: ‘Bulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kalian berpuasa
hingga kalian melihatnya (hila)l, maka apabila terhalang bagimu maka
sempurnakanlah bilangan (hari/malamnya) menjadi tiga puluh’ ” (HR.
Bukhari)
Sistem
penentuan awal bulan Qamariyyah yang dilakukan pada masa nabi, sahabat sampai
sekarang terus mengalami perkembangan secara berangsur, sesuai dengan
berkembangnya kebudayaan manusia dan majunya ilmu pengetahuan yang dimiliki
oleh manusia sampai sekarang untuk mencapai kesempurnaan. Namun meskipun
demikian, apabila melihat dengan bantuan alat, oleh Konfrensi Penanggalan islam
Internasional di Istambul Turki pada tahun 1978 mensyaratkan penggunaaan alat
harus yang masih sebanding dengan kemampuan mata manusia.
2)
Kelompok yang
tidak mengharuskan Rukyat (Metode Hisab)
Secara bahasa, Hisâb diartikan
dengan hitungan, perhitungan, arithmetic (ilmu hitung),reckoning (perhitungan), calculation (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan),estimation (penilaian,
perhitungan), atau appraisal (penaksiran). Sedangkan
arti Hisâb secara istilah adalah perhitungan benda-benda
langit untuk mengetahui kedudukanya pada suatu saat yang
diinginkan. Pendapat lain mengatakan, arti hisab adalah perhitungan
terhadap posisi benda-benda langit.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud hisab awal bulan Qamariyah adalah perhitungan
terhadap posisi matahari atau bulan guna menentukan kedudukan dua benda
tersebut pada saat-saat tertentu sehingga diketahui kapan dimulainya awal bulan
Qamariyah.
Metode hisab awal bulan
Qamariyah dapat diklasifikasikan terhadap dua jenis berikut:
a.
Hisâb ‘Urfi.
Hisab ‘Urfi adalah metode atau cara perrhitungan penanggalan yang
didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan
secara konvensional. Peredaran bulan mengelilingi bumi, dalam satu putaran bisa
mencapai 29 hari 12 jam 44 menit 2, 8 detik. Apabila dilipatkan 12 kali, maka
lamanya menjadi 354 hari 8 jam 48,5 menit.
Perhitungan dengan hisab urfi menghasilkan rumusan dalam satu
tahun terdapat 12 bulan. Untuk jumlah harinya, dalam bulan genap terdapat 29
hari dan bulan ganjil 30 hari. Hal ini mengecualikan bulan Dzulhijjah pada
tahun kabisat, dimana jumlah harinya berumur 30 hari. Menurut M. Wardan, metode
hisab urfi sangatlah penting bagi para ahli hisab. Karena dalam menghitung dan
menentukan awal bulan yang sebenarnya (hisâb haqiqi) akan
mengalami kesulitan jika tidak terlebih dahulu melakukan hisab urfi.
Jika melihat keterangan diatas, maka perhitungan awal bulan
Qamariyah dengan Metode hisab urfi hasilnya tidak jauh beda dengan metode hisâb haqîqi dengan
selisih satu hari dan terkadang sama. Hanya saja Para ulama’ bersepakat bahwa
hisab model ini tidak dapat digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah.
Melainkan lebih mudah digunakan untuk membuat kalender hijriyah dalam jangka
panjang. Mengenai keterangan hisâb haqîqi, akan dibahas pada sub berikutnya.
I.
b. Hisâb Haqîqi
Hisâb haqîqi adalah perhitungan sesungguhnya yang dilakukan dengan
seakurat mungkin terhadap peredaran bumi dan bulan, dengan menggunakan
kaedah-kaedah ilmu ukur segitiga bola (Spherical trigonometri).
Hisab haqiqi dapat diklasiikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama yaitu HisâbHaqîqi Taqrîbi. Perhitungan hisab
ini bersumber pada data yang disusun oleh "Zeij Ulugh Beyk”. Teori
yang dicetuskankanya adalah teori geosentris, yang menyatakan bumi
sebagai pusat peredaran benda-benda langit.
Kelompok kedua yaitu Hisâb Haqîqi Tahqîqi. Perhitungan
dalam hisab ini mengacu pada data astronomi yang telah disusun oleh syaikh
Husain Zaid Alauddin Ibnu Syatir. Dia adalah astronomi muslim berkebangsaan
mesir yang mendalami ilmu astronomi di Prancis. Karya ilmiah yang dihasilkanya
adalah buku yang berjudul al-Mathla’ al-Sa’îd Fi Hisâbah al-Kawâkib
al-Rusydi al-Jadîdi.
Sedangkan kelompok ketiga, yaitu Hisâb Haqîqi Tadqîqi yang mengacu
pada data-data astronomi modern. Pada dasarnya ilmu hisab yang ini adalah
pengembangan dari ilmu hisâb haqîqi tahqîqi, dengan memperluas
dan menambahkan koreksi-koreksi gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumus
spherical trigonometri. Dengan begitu, maka data yang didapat akan sangat
akurat.
Hal yang sama juga dikemukakakan
bahwa, Hisab (الحساب) artinya hitungan atau
perhitungan. Secara umum ilmu hisab adalah ilmu pengetahuan yang membahas seluk
beluk perhitungan (inggris:aritmatic) dalam pengertian sempit yakni
dalam aplikasinya di dalam ilmu falak, ilmu hisab dipahami sebagai ilmu (dan
teknologi) yang membahas perhitungan posisi dan lintasan benda-benda langit
(khususnya matahari, bulan dan bumi) dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain
bahwa ilmu hisab menurut terminologi astronomi adalah ilmu
pengetahuan tentang orbi-orbit bintang, lama perjalanannya dalam orbitnya
masing-masing, batas-batas waktu perjalanannya, dan waktu nampak dan tidaknya.
Fungsi hisab adalah untuk
mendapatkan informasi tentang kondisi bulan dan matahari terbenam. Informasi
itu kemudian dijadikan data dalam kegiatan Ru’yah al-hilal.
Hakikat
pergantian bulan Qamari secara astronomi adalah ketika terjadi ijtimak, yakni
ketika bulan sampai kepada meridian langit yang sama dengan matahari dan bumi,
artinya bulan telah berevolusi mengelilingi bumi selama satu bulan penuh.
Ketika terjadi ijtima’ itu maka disebut sebagai bulan baru (new moon). Tetapi
secara syar’i berbeda, bahwa pergantian bulan Qamari, khususnya bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis Nabi SAW
diatas itu ditentukan oleh terlihatnya hilal atau ikmal.
E. Landasan Normatif
Hisâb Dan Ru’yâh
Pada dasarnya praktik ru’yâh dan hisâb memiliki
dasar hukum yang sama. Hanya saja keduanya memiliki pemahaman berbeda mengenai tafsiran
makna yang terkandung didalam dasar-dasar tersebut. Diantara dasar-dasar hukum
yang digunakan dalam melakukan ru’yâh dan hisâb adalah:
Firman Allâh SWT yang disebutkan dalam al-Qur’ân
al-Karîm:[54]
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ
السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ
الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
"Dia-lah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allâh tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui."
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ
مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari
kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan
perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
Selain itu Rasulullah SAW juga bersabda:
باب قول النبي صلى الله عليه و سلم ( إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا
رأيتموه فأفطروا )
“Ketika kalian melihat hilâl. maka berpuasalah. Dan ketika kalian
melihat hilâl maka berbukalah”
1.
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو
الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ (غَبِيَ-أُغْمِيَ-غُمَّ) عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِين.
“Âdam mengatakan padaku, Syu’bah mengatakan pada Âdam, Muhammad
bin Ziyâd mengatakan pada Syu’bah, Ziyâd berkata: Saya mendengar abi Hurairah
Radliyallâhu‘anh berkata: Nabi Muhammad SAW. Bersabda: Berpuasalah kalian
karena melihat hilâl, dan berbukalah kalian karena melihat hilâl. Apabila awan
menutupimu (Penglihatanmu), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’bân menjadi
30 hari”.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Abdullâh bin Musallamah
mengatakan padaku, hadits ini didapat dari Mâlik, Mâlik dari ‘Abdullâh bin Dînâr,
‘Abdullâh bin Dînâr dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, Radliyallâhu ‘anhumâ:
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: Bulan itu 29 malam, maka janganlah
kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (Hilâl), apbila awan menutupi
(penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari”.
Ayat dan Hadîts diatas menjelaskan bahwa Alloh telah memberi
petunjuk kepada mereka yang berilmu dengan adanya matahari, bulan, siang, dan
malam, supaya manusia bisa mengetahui hitungan waktu. Ayat dan hadits itulah
yang dijadikan dasar penggguna’an ilmu hisâb dan ru’yâh
Hanya saja, mengenai penafsiran pada dasar hukum diatas, terdapat
perbedaan penafsiran antara ahli ru’yah dan ahli hisab, sehingga menjadikan
keduanya mempunyai cara sendiri-sendiri dalam menentukan awal bulan Qamariyah.
F. Kriteria Penentuan Awal Bulan Hijriyah
a) Menurut Kriteria Rukyat Hilal (Limit
Danjon)
Menurut Kriteria Danjon, hilal baru dapatdisaksikan jika
sudut engolasi bulan terhadap matahari minimal sebesar 7 derajat. Namun ika
hari itu ada yang mengklaim dapat menyaksikan hilal apalagi hanya menggunakan
mata telanjang, maka kesaksian ini wajib ditolak karena jelas-jelas
bertentangan dengan kaidah keilmuan dan huku sunatullah.
b) Menurut Kriteria Hisab Imkanur Rukyat
Pemerintah RI, melalui pertemuan menteri-menteri Agama
Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura menetapkan criteria yang disebut
Imkanur Rukyat yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan pada
kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan: hilal dianggap terlihat
dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apalagi
memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
ü Ketika matahari terbenam ,ketinggian
bulan di atas horizon tidak kurang dari 2 derajat
ü Jarak lengkung bulan-matahari (sudut
engolasi) tidak kurang dari 3 derajat
ü Ketika bulan terbenam, umur bulan
tidak kurang darii 8 jam konjungsi/ijtima’ berlaku.
c) Menurut Kriteria Hisab Wujudul Hilal
jika setelah terjadi ijtima’, bulan terbena setelah
terbenamnya matahari maka malam itu diteapkan sebagai awal bulan hHijriyah
tanpa melihat berapa pun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.
d) Menurut Kriteria Kalender Hijriyah
Global
Kritera yang digunakan tetap mengacu pada vasibilitas hilal
(Limit Danjon).
e) Menurut Kriteria Rukyat Hilal
Saudi
Rukyatul hilal digunakan Saudi
khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan dan Dzulhijjah. Kaidahnya sederhana,
jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengama/saksi yang dianggap
jujur dan bersedia disumpah, maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan
awal bulan tanpa perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan
tersebut. Belakangan wacana ini akhirnya dinamakan hilal
syar’iartinya sah secarahukum syariah, walaupun secara sains mustahil.
G. Tawaran formulasi peenyatuan Mazhab
Hisab dengan Madzhab Rukyat
Banyaknya mazhab dalam penentuan awal
Ramadhan dan Dzulhijjah di Indonesia, maka banyak juga pihak yang tergugah
untuk mengupayakan penyatuan. Terbukti dari berbagai pengalaman, perbedaan
seringkali membingungkan masyarakat awam, bahkan seringkali mengoyak jalinan
ukhuwah islamiyah. Akan tetapi sampai sekarang belum ada pendapat yang
diterima oleh semua pihak. Namun demikian pemerintah dengan madzhab imkan
al-ru’yah dengan format kekuasaanitsbat pada pemerintah
sebenarnya merupakan upaya yang lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima
oleh semua pihak. Upaya pemerintah ini pada dasarnya berpijak pada upaya
tercapainya keseragaman, kemaslahatan, dan persatuan umat islam di Indonesia. Hal ini
sebagai dasarnya: keputusan hakim/pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan
perbedaan pendapat.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu Falak
mempunyai suatu kepentingan praktis menjalankan perintah-perintah agama yang
sangat berkaitan dengan waktu seperti shalat, puasa, mengeluarkan zakat, dan
haji. Dengan ilmu falak, orang dapat memperhitungkan kemana arah kiblat, waktu
shalat, matahari sudah tenggelam untuk berbuka puasa serta mengarahkan
pandangannya ke posisi hilal. Dalam penentuan awal bulan, khususnya 1
ramadhan, 1 syawal dan 1 Dzulhijjah terdapat dua kelompok besar
yang berbeda, yakni: metode rukyat dan metode hisab.
Karena
banyaknya mazhab dalam penentuan awal Ramadhan dan Dzulhijjah di Indonesia yang
berbeda-beda, maka banyak pihak yang tergugah untuk mengupayakan penyatuan.
Salah satunya yaitu upaya pemerintah dengan membentuk imkanur rukyah.
B. Kritik
dan Saran
Demikian
makalah yang bisa kami buat, kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharap
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna perbaikan pada makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR REFERENSI
6. Ahmad Izzudin, Fiqih
Hisab dan Rukyah, (Jakarta: Erlangga,2007)
No comments:
Post a Comment