“PERGOLAKAN KONFIGURASI POLITIK BURUK
MAHASISWA IAIN MATARAM (POLITIK KUNING..?)”
By SUMERAH (ESC+HMI)
IAIN
Mataram adalah salah satu Perguruan Tinggi yang kita kenal dengan sebutan Institute
Agama Islam Negeri terkemuka di kawasan ASIA Timur. Namun yang menjadi
pertanyaan besar adalah apa yang membuat
dia unggul? apaknya yang unggul? lalu
siapa? yang unggul sebenarnya atau seutuhnya. Namun belakangan ini di
kalangan internal IAIN Mataram terjadi begitu banyak dan variatif dinamika kampus mulai dari hal yang buruk sampai hal kabar
baik lengkap semua. IAIN Mataram memiliki ribuan mahasiswa namun antara ribuan
mahasiswa terkadang ada yang menjadi setengah mahasiswa. Namun ada baiknya
mahasiswa, civitas akademika, dan masyarakat harus berani membuka mata, hati
dan deliberasi (pertimbangan yang
matang) tentang eksistensi IAIN Mataram sendiri. Dengan kita mau dan berani
membuka wawasan baru maka kita akan tahu bagaimana IAIN sebenarnya, mungkin IAIN
tidak semulus seperti yang kita liat, dan begitupula sebaliknya IAIN mungkin
tidak sejelek (su’uzon) seperti yang kita
kirakan. Namun menjadi hal yang wajar bila kita memiliki dua kaca mata ini,
karena tidak ada jaminan label islam bisa memasukan kita ke surga,
dan tidak bisa kita anggap kuliah di IAIN bisa menjadi guru agama yang handal,
namun bisa juga menjadi seperti di luar nalar.
Namun
dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menyinggung masalah bagaimana konfigurasi
politik mahasiswa di IAIN Mataram. Apakah selama ini mahasiswa tunduk terhadap
aturan lembaga atau institute, atau mahasiswa sendiri yang membuat atauran
bahkan mengatur orang-orang ada di lembaga tersebut. Untuk menjawab ini tidak
lain dan tiada bukan IAIN harus berani teransparansi.
Penyakit terbesar yang sampai mematikan manusia-manusia yang ada dalam lembaga, instansi, perusahan hingga keranah
yang kecil seperti organisasi disebabkan penyakit setruk (tidak teransparansi). Apakah penyakit ini masih ada di IAIN Mataram?
saya jawab 100% masih ada, lebih-lebih dalam kalangan mahasiswa IAIN itu
sendiri, lalu siapakah mahasiswa tersebut? berdasrkan informasi, fakta dan
realita mahasiswa tersebut adalah “mahasiswa golongan kuning atau politik
kuning.” Lalu apakah ini wajar di IAIN Mataram, tentu semua orang akan
mengatakan keadaan dan hal tersebut tidak etis sama sekali. Sehingga timbul
pertanyaan lagi apakah yang membuat tradisi yang jelek tersebut masih tetep di
budidayakan di linngkungan IAIN Mataram? sejauh mana IAIN mengajarkan kebaikan
dalam pembelajaran, pengorganisasian terhadap mahasiswanya, sudah optimal
tidak, namun bisa disimpulkan bahwa berdasarkan dinamika politik mahasiswa IAIN
mataram pengajaran belum tuntas. Ketidak-tuntasan dan ketidak-optimalkan disebabkan
oleh berbagaimacam masalah, yang Pertama: disebabkan oleh oknum
tertentu (golongan mahsiswa
sendiri), golongan mahasiswa disini mereka membuat suatu kelompok gerakan yang
terbingkai dalam oragnisasi ekstra kampus dengan dokterin yang ekstreme serta memiliki goals atau tujuan memperkuat,
menghidupi, membesarkan, mempertajam kelompoknya sendiri secara terus-menerus
(kontinuitas), dengan cara apapun tanpa menghiraukan aturan dan norma-norma
yang hidup dan berkembang di IAIN Mataram itu sendiri. Kedua: tidak ada ketegasan dan
keberanian pihak dari lembaga sendiri, sebenarnya segala sesuatu itu
bisa diatur oleh lembaga apalagi mahsiswa sendiri. Namun yang menjadi
pertanyaan kita hari ini ialah apakah justeru sebaliknya mahasiswa yang
mengatur lembaga? modus atau indikator ini bisa kita liat hari ini para pejabat
yang berwenang sepertinya setengah hati,
setengah berani ngatur, dan setengahnya lagi tidak berani dengan
salah satu statement yang dilontarkan
oleh salah seorang pejabat dalam bidang
kemahasiswaan, yang menjadi kendalanya adalah “takut ancaman diluar”. Dan ada okenum tertentu yang mencoba
melakukan “kong-kali kong” dalam peraktik dilapngan sering terjadi
negosisasi tersembunyi, dalam melakukan praktik ini sering dan terkadang
melibatkan banyak pihak, adapun tujuan dari kong-kali kong ini hanya untuk
mendapat sesuatu saja tanpa kiranya melihat apa efeksnya sehingga terlihat
sekali melakukan tindakan mengabaikan aturan dan cuek terhadapat nilai-nilai
yang ada dalam lingkungan.
Lalu
dimana letak kewenangan yang seharusnya diemban dan direalisasikan buat
keharmonisan lingkunagn IAIN sendiri. Pentingkah kita pertahankan seperti
statement diatas, jika tidak penting dan akan merusak citra IAIN secara
internal dan ekternal lebih baik orang-orang, oraginsasi, mahasiswa yang nakal,
tidak patuh, sulit diatur, anarkis, mementingkan golongan sendiri, tidak
transparansi, tidak demokratis, kuliah-kuliahan sebaiknya alternatifnya ialah
membuang jauh-jauh mereka-mereka yang memiliki sifat dan perilaku di kalangan
civitas akademika IAIN mataram. Apakah hal ini IAIN mataram berani melakukan
tindakan jika berani harus ada bukti yang kongkret
jika memiliki bukti yang kongkret lalu manakah hal itu?, dan jika benar hal itu
ada sebesar apa dia?, namun selama ini belum ada bukti yang otentik bahwa
lembaga sudah 100% berusaha meminimalisir oknum-oknum nakal tersebut. Bisa kita
simpulkan IAIN Mataram sampai hari ini masih senang membina, memelihara, mengembangkan, melanjutkan visi dan misi gerakan
oknum yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, buktinya setiap ada pemilihan
BEM, HMJ, dan ranah-ranah lainya yang selalu mendominasi dan menghegemoni
ialah kubu-kubu tertentu seperti kelompok pergerakan politik kuning atau Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
ini sudah tidak asing lagi di lingkungan IAIN Mataram bahkan pada sekup
yang lebih luas tataran nasional. Kalau model mahasiswa, kader, organisasi,
kelompok bahkan penjabat seperti ini dipertahankan dan dipelihara dilingkungan
maka tinggal tunggu waktu dan siap-siap akan terjadi dinamika “kehancuran dahsyat” terhadap
lingkungan, lembaga dan orang-orang yang ada dalam lembaga atau instansi tersebut
juga akan terbawa dan terseret dengan arus kehancuran itu.
Dari
entitas konfigurasi politik buruk
(kalangan mahasiswa) IAIN Mataram, akan melahirkan wajah yang berbeda-beda.
adapun warna-warna benih yang akan
tumbuh di IAIN Mataram berikut ini: Pertama, akan
melahirkan watak manusia yang anarkis,
bagaimanpun tidak dalam peroses pengkaderan dalam gerakan kelompok yang satu
ini selalu dibalut dan dibungkus dengan nilai-nilai dan norma-norma kekerasan. Jangan
heran jika dilapangan mahsiswa IAIN tertentu bukan prestasinya yang dikenal
akan tetapi mahsiswa IAIN Mataram dikenal mahsiswa pendemo anarkis demi
mendapatkan uang rokok dan uang makan. Kedua, akan tumbuh dan
berkembang sikap dan sifat mahasiswa yang radikal, liberal tidak berimbang yang
dimaksud dengan mahsiswa yang radikal dan liberal tidak berimbang ialah ketidakselarasan, dan ketidaksejalan antara ilmu, otak dengan
perbuatanya, nah ini seringkali menimbulkan hal-hal yang tidak di inginkan dan
sikap ini kerap dekat dengan konflik-konflik yang beragam. Ketiga, munculnya
kaum-kaum atau kaula muda (mahasiswa) yang tidak rasional, bila dalam
berbuat tanpa sebelumnya memiliki planning,
deliberasi, choice, dan expectation values
maka wajar hasilnya tidak ada mamfaatnya sama-sekali, inilah salah satu wajah
masih terus berkembang biak dilingkungan kampus putih IAIN mataram hari ini,
akan sangat merugikan masyarakat dan lebih tinggi lagi Negara akan hancur bila
kita masih memproduksi generasi sejenis ini, Ke-empat
mencetuskan calon sarjana gagal.
Statement ini dapat dibuktikan tentu melalui berbagai sumber dan perbandingan,
adpun sumber dan perbandingan yang dimaksud ialah, kita harus melihat dari
segala arah dan sisi dengan melihat saecara komprehenshif artinya disni dengan kita keluarkan sebuah
pernyataan bukan sok tahu (appriory), bukan suuzon, bukan menuduh tidak pula
men-justice tanpa bukti atau keadaan
tertentu kalau penulis bahasakan atau qiyaskan
masalah ini jelas ia punya locus delicty
dan tidak berlaku atau azas presumption
of innocence sudah terjawab duluan dengan fakta yang ada dilapngan. Ke-lima
mencetak generasi maling modern (white color criminal) sangat tepat dan relevan
sekali dengan teori criminal modern yang penulis sebut dengan istilah “white
color criminal” adapun bentuk atau indicator perbuatan ini sejak dulu memang
sudah ada namun, berbeda dengan hari ini seiring dengan perubahan dan
perkembangan zaman, cara seperti yang penulis istilah diatas semakin canggih
dan menjadi-jadi. Mungkin sudah tidak asing lagi bagi pejabat, peagawai,
staf, mahasiswa, cleaning service,
security IAIN Mataram atau secara umun seluruh rakyat Indonesia paham betul
dengan pencuri-pencuri modern hari ini (para koruptor). Dan yang namanya
koruptor hari ini ada dimana-mana serta tidak memandang tempat mau di
lingkungan istana, MPR, DPR, DPD, Gubernur, Bupati, Walikota, Kampus,
Instutitute contohnya seperti kampus
IAIN Mataram yang berlebel islam namun
lebel tersebut tidak ada efek sama sekali buktinya masih ada saja pencuri
modern yang merugikan banya pihak baik secara materil maupun non-materil bahkan
rugi dunia akhirat.
Melihat
phenomena yang luar biasa dan dapat membinasakan masih terpelihara di
lingkungan IAIN Mataram. Membesarkan dan mengayomi okenum-okenum tersebut
sangatlah bervariatif dan startegis, misalnya pihak pejabat lembaga (pejabat
struktural) masih tidak berani mengambil keputusan yang lebih “tepat dan kuat” terkait poltik suram
mahasiswa baik dalam ranah akademis, organisasi, lebih-lebih dalam dinamika
politik, BEM, HMJ yang dari tahun ke tahun tidak pernah ada perkembangan
sedikitpun malah kehancuran yang menjadi-jadi. Dengan dinamika serta
konfigurasi politik buruk mahasiswa IAIN mataram yang terus survive akankah memberikan sutu harapan
yang baik, akankah IAIN bisa maju, jelas hal ini berbalik makna al-hasil gagal untuk mencetak generasi harapan
bangsa.
Menjadi
suatu hal yang lumrah ketika terjadi degradation
terhadap moral, nilai, keperyaan, dan kualitas pendidikan mapun kualitas intlektualitas mahasiswa IAIN Mataram
jauh ketinggalan (not up date dan out of date ) dibandingkan dengan
universitas, maupun dengan institute lainnya. Hal ini disebabkan belum tuntas
tidak transparansinya sebuah lembaga baik dalam membina, mengembangkan atau
melanjutkan estapita prosese dan prosedur yang ada dalam lingkungan sendiri (internal problem side). Begitu
pentingnya perbaikan atau dorongan positif secara internal mulai dari hal
terkecil sampai dengan masalah yang besar bila menginginkan kemajuan suatu
lembaga, namun hal ini tidak akan pernah sampai bila dalam berbuat masih sering
mengabaikan yang kecil dengan
anggapan hal tersebut tidak terlalu
penting sehingga tumbuh dalam diri peribadi masing-masing pejabat,
mahasiswa dan lainya sikap yang menjerumuskan menjadi manusia “autis”
bukan lagi menjadi orang yang “egalatariant” dalam satu visi dan
misi demi kemajuan. Sebagai konklusi dari tulisan ini, penulis ingin memberikan
statement closing: “Wajarkah mengakui sutu label namun kita tidak se-level
dengan label tersebut, Wajarkah kita katakana putih sedangkan kita mengatakan kuning.”
No comments:
Post a Comment